Minggu, 21 Juni 2009

Mencermati Kekerasan dalam Pendidikan

PENDIDIKAN adalah proses memanusiakan manusia. Proses penanaman nilai-nilai luhur; rasa kemanusian, kasih sayang, saling mencintai dan tentu bukan sebaliknya rasa permusuhan dan tindak kekerasan lainnya. Maka tak belebihan rasanya jika kita mengatakan adalah sebuah ironi yang menyesakkan manakala para pendidik kita justru menampilkan perilaku yang bertentangan dengan hakekat pendidikan tersebut.
Kasus pemukulan murid oleh gurunya dan pemukulan guru oleh wali murid yang hampir menyeret berbagai pihak ke meja pengadilan (Pontianakpost,13/02/03) mau tak mau memaksa kita untuk mencermati lebih jauh persoalan ini. Kekerasan dalam pendidikan, semisal kasus diatas bukanlah "barang baru" dalam dunia pendidikan. JE Sahetapy dan St. Kartono melihat bahwa tindak kekerasan tersebut merupakan buah dari kekerasan struktural yang terjadi di negeri ini. Kekerasan struktural sendiri merupakan bentuk kekerasan yang dipicu oleh perbedaan struktur strata sosial.
Di India dalam sejarahnya dikenal dan berlaku sistem kasta yang merupakan cermin posisi dan kedudukan seseorang dalam kehidupan sosialnya. Perbedaan kasta ini pada gilirannya menstimulasi perilaku-perilaku diskriminasi dan kekerasan. Kasta Paria misalnya yang menempati kasta dibawah kasta lainnya teramat sering ditindas dan diperlakukan semena-mena oleh kasta-kasta di atas mereka.
Akibat yang lebih buruk dari perilaku diskriminasi dan kekerasan tersebut teramat sering berwujud terjadinya kekacauan sosial yang lebih besar. Asumsi yang mudah dipahami bahwa bagaimanapun penindasan melahirkan kesengsaraan dan bukan rahasia lagi bahwa pihak yang tertindas akan menjadi bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu.
Tak terlalu berlebihan kasus kekerasan dalam pendidikan di atas didekati dengan pendekatan kekerasan struktural. Alhasil tindak pemukulan (pelasah) terhadap siswa merupakan cermin superioritas guru terhadap muridnya. Jika kita lacak lebih jauh rasa superioritas tersebut teramat mungkin lahir dari kesadaran struktural yang demikian kentalnya, kesadaran bahwa guru bagaimanapun lebih berkuasa atas siswanya. Dalam hal ini tentu saja relasi yang terwujud bukanlah relasi yang kondusif karena relasi yang tercipta adalah relasi atasan-bawahan, bahkan mungkin saja relasi penguasa dan abdi.
Mungkin ada benarnya pendapat yang mengatakan bahwa perilaku kekerasan guru tersebut adalah buah dari kekerasan struktural lainnya, yakni hegemoni ekonomi Bukan rahasia lagi bahwa sulitnya kesejahteraan hidup yang dicapai oleh guru karena minimnya gaji yang mereka terima hingga pada gilirannya mengakibatkan timbulnya suasana tertekan (tertindas). Suasana yang memberikan pengaruh yang tidak kecil pada suasana hati dalam melakoni proses pengajaran, dengan kata lain tindakan kekerasan tersebut adalah pelampiasan mereka atas hegemoni ekonomi yang menimpa mereka.
Namun demikian tentunya bukanlah alasan yang tepat untuk menimpakan berbagai kekesalan akibat kekerasan hegemoni ekonomi tersebut pada anak didik. Jika demikian yang berlaku tentu akan timbul lingkaran kekerasan yang terus berputar, guru ditindas pemerintas, guru lalu menekan murid, dan sebagai balasannya timbullah tindakan reaktif para wali murid.
Berangkat dari pendekatan struktural tersebut setidaknya bisa dilihat sejumlah usaha yang patut diwujudkan segera. Pertama; menanamkan dan meningkatkan wawasan kemitraan dalam pendidikan. Kemitraan di sini tidaklah sama persis dengan relasi kemitraan dalam bisnis, namun lebih pada sebuah relasi yang menempatkan kedua belah pihak pada posisi subjek.
Selama ini baik disadari atau tidak, para anak didik lebih diposisikan sebagai objek, dan tentunya model semacam ini selain tidak mendidik juga menimbulkan stimulasi kepada guru untuk memposisi guru sebagai pihak yang paling berkuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar