Senin, 22 Juni 2009

Contoh penanganan bullying




TINGKAT keamanan sekolah dari bullying atau tindakan yang membuat seseorang merasa teraniaya yang dapat dilakukan guru, sesama siswa, senior atau alumni bisa bergantung pada bagaimana interaksi guru dan murid di suatu sekolah dan aura lingkungan sekolah tersebut. Hal ini disampaikan oleh psikolog Universitas Indonesia Ratna Juwita dalam konferensi pers mengenai upaya penanganan bullying, di Jakarta, Sabtu (17/5).

Dari penelitian yang dilakukannya di SD, SMP dan SMA di tiga kota besar di Indonesia, sekolah dengan tingkat bullying yang terendah menunjukkan ada kaitan erat antara guru dengan siswanya serta kondisi lingkungan sekolahnya. “Yang rendah ini, di sekolahnya terdapat hubungan antara guru dan siswa yang sangat baik. Sekolahnya kecil dan nyaman, dalam arti hijau, anak-anak bebas main-main. Sekolah yg sangat biasa,” ujar Ratna.

Ratna yang juga mengajarkan mata kuliah Psikologi Lingkungan di kampus memiliki hipotesa bahwa lingkungan fisik sekolah berpengaruh besar terhadap perilaku orang-orang yang ada di sekolah. Sementara itu, Kepala Sekolah SMUN 103 Jakarta Agus Halisin mengatakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pihak sekolahnya dalam mencegah dan mengatasi bullying adalah dengan menata ruang sekolah senyaman dan sekreatif mungkin.

“Kami merasa penataan ruang di sekolah sangat penting untuk menciptakan atmosfir untuk memunculkan kreativitas anak-anak dan menciptakan rasa nyaman sehingga anak-anak merasa seperti di rumahnya sendiri,” ujar Agus pada kesempatan yang sama. Agus juga menambahkan upaya pencegahan bullying memang harus menjadi perhatian semua pihak baik siswa, para alumni, guru, orang tua, bahkan masyarakat di sekitar sekolah.

“Membentuk sistem network di sekolah, yaitu siswa, orang tua, guru dan masyarakat di sekitar sekolah dan mengadakan pelatihan untuk guru. Kita juga berkoordinasi dengan sekolah-sekolah terdekat, membangun jejaring untuk mengatasi dan mencegah terjadi bullying,” tambah Agus.

Kekerasan di Dunia Pendidikan



•3 April 2007
Cliff Muntu (19), praja tingkat II Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Jawa Barat tewas. Kematian mahasiswa asal Manada, Sulawesi Utara, itu diduga karena dianiaya oleh seniornya.

•28 April 2007
Edo Rinaldo (8), siswa kelas II SD Santa Maria Immaculata di Pondok Bambu, Duren Sawit, jakarta Timur, tewas setelah dikeroyok empat teman sebaya di sekolahnya. Seorang pelakunya adalah siswa kelas IV SD, sedang tiga lainnya adalah teman sekelas dan ketiganya perempuan.

•15 Mei 2007
Blasius Adi Saputra (18), siswa kelas I SMA Pangudi Luhur, Jakarta Selatan, melaporkan ke polisi soal kekerasan fisik dan mental yang dialaminya di sekolah. Penganiayaan itu diduga dilakukan oleh seniornya.

•30 Mei 2007
Tiga siswa SMP Negeri 8 Kota Tegal, Jawa Tengah, mengaku dianiaya kepala sekolah mereka, Muslich, karena tidak bersedia membukakan pintu gerbang sekolah. Ketiga siswa itu adalah Fajar Nurdiansyah (14), Jamaludin (14), dan Andi Setiawan (14). Akibatnya, fajar dan Jamaludin mengalami trauma sehingga takut berangkat sekolah.

•21 Agustus 2007
Franky Edward Damar (16), siswa kelas I SMK Pelayaran Wira Maritim, Surabaya, meninggal saat mengikuti masa orientasi sekolah (MOS). Sebelumnya Franky beberapa kali mengeluh sakit kepala kepada para senior, tetapi hanya diberi obat sakit perut.

•10 November 2007
Muhammad Fadhil Harkaputra Sirath (15), siswa kelas X SMAN 34 Pondok Labu, Jakarta Selatan, disiksa seniornya hingga retak tulang tangan sebelah kiri dan luka sundutan rokok di kedua tangan. Fadhil diduga dianiaya anggota geng Gazper yang beranggotakan ratusan siswa SMAN 34.

Penanganan Bullying Salah



Jakarta - Kasus tindak kekerasan yang dialami murid SMA 34, Pondok Labu, Jakarta oleh seniornya bisa dikategorikan sebagai tindakan bullying. Penanganan yang salah selama ini justru membuat anak Indonesia jadi korban. "Peristiwa seperti ini jangan kita gunakan untuk saling menyalahkan. Tapi kita gunakan untuk menyadari bahwa kita semua masih belum cukup mengantisipasi dan mencegah bullying itu sendiri," kata pendiri Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa) Diena Haryana dalam siaran pers, Selasa (13/11/2007). Diena menjelaskan, terminologi bullying mengacu pada penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Peristiwanya sangat mungkin terjadi berulang.
Hal ini, sering dialami oleh siswa-siswa sekolah menengah di seluruh Indonesia. Oleh kerena salah paham, tindakan semacam ini dianggap sesuatu yang wajar, tanpa ada yang menyadari dampak jangka panjang yang ditimbulkan baik pada korban juga pelaku bullying. "Akibatnya, tindakan bullying terus terjadi sampai terkadang menimbulkan korban jiwa dan trauma berkepanjangan, yang tentunya menghambat proses belajar dan proses perkembangan jiwa seorang anak," papar Diena. Berbagai penelitian, telah menunjukkan hubungan antara bullying dengan naiknya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai akademik dan tindakan bunuh diri pada orang dewasa dan anak-anak. "Bullying juga menurunkan skor tes IQ dan kemampuan analisa siswa, serta rasa kurang berartinya diri mereka. Pelaku bullying sendiri cenderung tumbuh menjadi pelaku kriminal, dibandingkan dengan anak-anak yang tidak melakukan bullying," ungkapnya.
Penanganan kasus bullying yang beberapa kali terjadi seringkali salah. Terutama dengan keterlibatan polisi yang terlalu jauh. "Dukungan dan komitmen dari semua pihak adalah langkah awal untuk dapat mengurangi tindakan bullying di sekolah dan menciptakan lingkungan sekolah yang positif dan sehat," ujarnya. Untuk itu, Diena berharap, seluruh pihak, baik orang tua dan guru perlu melakukan sesuatu karena bullying menimbulkan trauma dan sangat berpengaruh terhadap masa depan anak-anak mereka. "Anak-anak juga perlu dibimbing agar mereka menyadari bahwa perilaku bullying sangat merugikan dan mengarah pada tindakan melanggar hukum," tandasnya.

"Homo Violens"



Para praja yang masuk IPDN ternyata diam saja diperlakukan secara sewenang-wenang oleh seniornya menunjukkan kematian rasionalitas dalam diri para praja. Homo violens memang bagian kodrat manusia yang merupakan homo sapiens. Namun, homo violens terjadi karena kebutuhan dasar untuk mempertahankan kehidupan. Dalam kasus IPDN, kehadiran homo violens bukan karena kebutuhan dasar untuk mempertahankan hidup, tetapi karena matinya rasionalitas.
Tidak ada satu jiwa merdeka pun yang mau ditendang, dipukuli, dan dianiaya secara sistematis seperti terjadi di IPDN. Kematian rasionalitas menandai matinya kemerdekaan dan penghargaan terhadap kemartabatan sendiri. Menolak adalah sikap merdeka yang harus hadir dalam jiwa setiap individu saat diperlakukan secara sewenang-wenang sebab tidak ada kaitan antara tendangan bebas ke dada atau pukulan bertubi-tubi ke ulu hati untuk menciptakan pamong praja pengabdi rakyat.
Kekejaman dalam dunia pendidikan harus dihentikan!

Peduli Bahaya Bullying di Sekolah

Bandung, 18/6 - “Tindakan bullying di sekolah mengarah pada penggunaan kekuatan ataupun wewenang untuk menindas seseorang atau sekelompok orang di dalam lingkungan sekolah secara sering atau bahkan berulang kali,” ujar Diena Haryana pendiri Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa) yang ditemui di Jakarta pada 16 Juni kemarin.
Untuk memotret persoalan ini, perlu ditelaah terlebih dahulu kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, yakni kondisi internal dan kondisi eksternal. Kondisi internal merupakan faktor internal yang berpengaruh langsung bagi perilaku para pelajar atau mahasiswa beserta pendidiknya, sedangkan kondisi eksternal adalah kondisi non-pendidikan yang merupakan faktor tidak langsung bagi timbulnya potensi kekerasan dalam pendidikan. Dukungan dan komitmen dari semua pihak adalah langkah awal untuk dapat mengurangi tindakan bullying di sekolah dan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang positif dan sehat.
Tindakan bullying di sekolah dapat menyebabkan korban merasa tertekan, mengalami trauma, dan merasa tidak berdaya sehingga dapat menghambat proses belajar dan proses perkembangan jiwa korban. Bullying juga dapat menyebabkan proses belajar menurun akibat menurunnya kemampuan analisa si korban tersebut. Sebuah penelitian di Indonesia juga menyebutkan bahwa akibat tindakan bullying, tingkat depresi korban menjadi meningkat dan tindakan bunuh diri semakin sering terjadi di Indonesia. Para pelaku tindakan bullying pada umumnya cenderung menjadi pelaku tindakan-tindakan kriminal lainnya.
Oleh karena itu, pihak-pihak yang memang memiliki tanggung jawab baik secara langsung maupun tidak langsung atas terjadinya tindakan bullying di lingkungan sekolah harus sadar dan membimbing para murid untuk menghindari tindakan bullying. Tindakan bullying memberikan pengaruh yang negatif pada anak-anak.(T/S)

Bullying di Sekolah

Jakarta, 19/6 - “Bullying adalah tindakan kekerasan fisik dan psikologis yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seorang individu yang tidak mampu bertahan dalam situasi dimana dirinya ditekan, ditakuti, atau bahkan dilukai untuk jangka waktu yang lama,” seperti yang dikutip dalam rapat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Jakarta pada 17 Juni kemarin.
Tindak kekerasan tak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Tindakan bullying terbagi dalam 2 bentuk, yaitu bentuk fisik dan bentuk verbal. Tindakan bullying dalam bentuk fisik berupa memukul, menampar, meminta paksa yang bukan menjadi miliknya, dan lain sebagainya. Tindakan bullying secara fisik biasanya dilakukan antar siswa sekolah, sedangkan tindakan bullying secara verbal (memaki, mengejek, merendahkan, dan sebagainya) pada umumnya dilakukan antar siswi di sekolah.
Dalam perbincangan beberapa hari yang lalu dengan Drs. Abd. Rachman Assegaf, M. Ag., beliau mengutarakan beberapa analisa tentang bullying. Pertama, kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama hukuman fisik. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan.
Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan. Ketiga, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan.
Keempat, kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas. Kelima, kekerasan dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku.
Jadi, sebenarnya bullying adalah masalah besar di dalam dunia pendidikan di Indonesia yang masih luput dari perhatian atas pencegahan dan pananganan.(T/S)

Minggu, 21 Juni 2009

Kasus Bullying di Indonesia

Kemungkinan tejadinya tindakan bullying di lembaga pendidikan (sekolah) yang memiliki jenjang tingkat pendidikan dari junior hingga senior memang sangat besar. Salah satunya adalah kasus tindakan bullying di SMAN 34 Jakarta.
Pada bulan November 2008 lalu, geng Gazper (salah satu nama geng siswa di SMAN 34) diadukan ke Polsek Cilandak oleh salah seorang murid SMAN 34. Muhammad Fadhil Harkasaputra, salah satu korban tindak kekerasan tersebut, terluka parah dan patah tulang karena dipaksa berkelahi dengan murid yang lebih tua di geng Gazper. Kasus ini berakhir dengan dibubarkannya geng Gazper dan 5 orang siswa yang melakukan aksi kekerasan dikenakan sanksi dengan dikeluarkan dari SMAN 34. Fauzan, salah seorang siswa SMA di Jakarta, berpendapat bahwa cara mengatasi bullying itu harus dilakukan melalui pengawasan yang ketat tidak hanya di dalam lingkungan sekolah tapi juga di luar sekolah, Aksi bullying senior ke junior akan terus berlangsung sehingga menjadi tradisi ke generasi bawahnya.
Lain halnya dengan kasus di kota Pati, Jawa Tengah. Bulan Juni lalu, terdapat Geng Nero yang melakukan kekerasan terhadap adik kelasnya. Geng yang beranggotakan anak-anak perempuan ini sudah ada sejak 2 tahun yang lalu dan sering ‘menggencet’ orang-orang yang tidak disukai oleh mereka. Intinya, geng ini akan ikut campur dengan orang-orang yang sebenarnya tidak berhubungan dengan mereka, tapi dengan anggota geng Nero. Aksi Geng Nero ini mendapat protes dari Sisil, seorang siswi SMA di Jakarta, “Kok perempuan pakai kekerasan segala? Pasti kan orangtuanya juga tidak pernah berlaku kasar secara fisik gitu ke mereka juga kan? Tapi kenapa mereka berlaku seperti itu?”
Bullying bukanlah hal baru dalam dunia sekolah. Perilaku saling mengejek juga merupakan bagian dari bullying, jika korbannya merasa tertekan. Sebenarnya, apakah bullying itu? Seorang aktivis anti-bullying Indonesia Diena Haryana, menjelaskan bahwa Bullying adalah segala perilaku yang dilakukan kepada orang lain baik secara verbal, fisik, atau mental yang dilakukan dengan berulang-berulang menggunakan power untuk menunjukkan bahwa saya berkuasa, saya lebih hebat sehingga memberikan dampak rasa takut, tertindas dan terintimidasi. Jika ledek-ledekan tidak berdampak apa-apa itu tidak termasuk bullying.
Dalam penelitian LSM Sejiwa terhadap 1300 lebih orang pelajar dan guru di Jogja, Surabaya dan Jakarta, setiap sekolah pasti ada bullying. Mulai dari yang ringan hingga berat. Ada yang mengancam, menjewer, mengucilkan, menampar, memukul, menendang bahkan menggunakan senjata tajam.
Pelaku punya banyak alasan untuk menggencet seperti tekanan di rumah, tidak percaya diri atau meniru orang yang lebih tua. Tayangan televisi pun bisa menjadi penyebabnya. Bullying atau menggencet orang lain dalam bentuk apapun salah. Tidak ada salahnya menciptakan budaya mengasihi terhadap sesama manusia.
Stop Bullying mulai dari sekarang!!!!

Mencermati Kekerasan dalam Pendidikan

PENDIDIKAN adalah proses memanusiakan manusia. Proses penanaman nilai-nilai luhur; rasa kemanusian, kasih sayang, saling mencintai dan tentu bukan sebaliknya rasa permusuhan dan tindak kekerasan lainnya. Maka tak belebihan rasanya jika kita mengatakan adalah sebuah ironi yang menyesakkan manakala para pendidik kita justru menampilkan perilaku yang bertentangan dengan hakekat pendidikan tersebut.
Kasus pemukulan murid oleh gurunya dan pemukulan guru oleh wali murid yang hampir menyeret berbagai pihak ke meja pengadilan (Pontianakpost,13/02/03) mau tak mau memaksa kita untuk mencermati lebih jauh persoalan ini. Kekerasan dalam pendidikan, semisal kasus diatas bukanlah "barang baru" dalam dunia pendidikan. JE Sahetapy dan St. Kartono melihat bahwa tindak kekerasan tersebut merupakan buah dari kekerasan struktural yang terjadi di negeri ini. Kekerasan struktural sendiri merupakan bentuk kekerasan yang dipicu oleh perbedaan struktur strata sosial.
Di India dalam sejarahnya dikenal dan berlaku sistem kasta yang merupakan cermin posisi dan kedudukan seseorang dalam kehidupan sosialnya. Perbedaan kasta ini pada gilirannya menstimulasi perilaku-perilaku diskriminasi dan kekerasan. Kasta Paria misalnya yang menempati kasta dibawah kasta lainnya teramat sering ditindas dan diperlakukan semena-mena oleh kasta-kasta di atas mereka.
Akibat yang lebih buruk dari perilaku diskriminasi dan kekerasan tersebut teramat sering berwujud terjadinya kekacauan sosial yang lebih besar. Asumsi yang mudah dipahami bahwa bagaimanapun penindasan melahirkan kesengsaraan dan bukan rahasia lagi bahwa pihak yang tertindas akan menjadi bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu.
Tak terlalu berlebihan kasus kekerasan dalam pendidikan di atas didekati dengan pendekatan kekerasan struktural. Alhasil tindak pemukulan (pelasah) terhadap siswa merupakan cermin superioritas guru terhadap muridnya. Jika kita lacak lebih jauh rasa superioritas tersebut teramat mungkin lahir dari kesadaran struktural yang demikian kentalnya, kesadaran bahwa guru bagaimanapun lebih berkuasa atas siswanya. Dalam hal ini tentu saja relasi yang terwujud bukanlah relasi yang kondusif karena relasi yang tercipta adalah relasi atasan-bawahan, bahkan mungkin saja relasi penguasa dan abdi.
Mungkin ada benarnya pendapat yang mengatakan bahwa perilaku kekerasan guru tersebut adalah buah dari kekerasan struktural lainnya, yakni hegemoni ekonomi Bukan rahasia lagi bahwa sulitnya kesejahteraan hidup yang dicapai oleh guru karena minimnya gaji yang mereka terima hingga pada gilirannya mengakibatkan timbulnya suasana tertekan (tertindas). Suasana yang memberikan pengaruh yang tidak kecil pada suasana hati dalam melakoni proses pengajaran, dengan kata lain tindakan kekerasan tersebut adalah pelampiasan mereka atas hegemoni ekonomi yang menimpa mereka.
Namun demikian tentunya bukanlah alasan yang tepat untuk menimpakan berbagai kekesalan akibat kekerasan hegemoni ekonomi tersebut pada anak didik. Jika demikian yang berlaku tentu akan timbul lingkaran kekerasan yang terus berputar, guru ditindas pemerintas, guru lalu menekan murid, dan sebagai balasannya timbullah tindakan reaktif para wali murid.
Berangkat dari pendekatan struktural tersebut setidaknya bisa dilihat sejumlah usaha yang patut diwujudkan segera. Pertama; menanamkan dan meningkatkan wawasan kemitraan dalam pendidikan. Kemitraan di sini tidaklah sama persis dengan relasi kemitraan dalam bisnis, namun lebih pada sebuah relasi yang menempatkan kedua belah pihak pada posisi subjek.
Selama ini baik disadari atau tidak, para anak didik lebih diposisikan sebagai objek, dan tentunya model semacam ini selain tidak mendidik juga menimbulkan stimulasi kepada guru untuk memposisi guru sebagai pihak yang paling berkuasa.

Stop Kekerasan di Sekolah!


Kekerasan sudah mengakarabi kehidupan keseharian masyarakat kita. Penyelesaian konflik selalu saja disertai dengan tindakan kekerasan. Bahkan, seperti kasus-kasus yang belakangan ini terjadi di institusi pendidikan, kekerasan menjadi pertunjukkan yang menarik untuk dipertontonkan. Bisa kita amati bersama bagaimana rekaman kasus perkelahian siswa SMP di Polewali Mandar (Polman), pertarungan tinju dua siswi di Timika, kekerasan geng nyik-nyik di Tulungagung dan seabrek kasus serupa lainnya. Artinya kini budaya kekerasan bukan hanya milik orang dewasa semata. Anak-anak sekolah yang notabene adalah generasi penerus bangsa juga telah ikut ambil bagian.
Jika ditinjau secara kultural, maka kekerasan dalam dunia pendidikan menjadi masalah yang cukup kompleks. Kekerasan yang dipraktekkan adalah dampak dari ketimpangan sistem struktural pendidikan secara keseluruhan. Kekerasan ini beroperasi melalui (nilai-nilai) sosial, (aspek) budaya, dan (faktor) struktural (masyarakat).
Bentuk-bentuk kekerasan dapat muncul dikarenakan kurikulum pendidikan yang cukup padat dan sarat beban, menyebabkan anak harus belajar berbagai hal dalam waktu yang ditentukan. Ini menyebabkan emosional anak didik menjadi kurang bisa terkendali. Kemudian, sebagian pendidik juga belum mampu mengelola emosi negatif sehinga memperlakukan peserta didik dengan kasar. Lebih jauh lagi, pemegang kebijakan pendidikan di negeri ini harus sadar bahwa ketidakadilan kebijakan dan perundang-undangan pendidikan yang diskriminatif dapat menanam benih kekerasan di benak anak didik. Karena secara substansif, akses pendidikan yang tidak adil dan merata dapat menyebabkan kesejangan, sehingga akan sangat mudah memicu konflik sosial yang lebih luas.
Selain itu, media massa juga tak dapat lepas tanggungjawab dalam membentuk perspektif terkait perilaku kekerasan dikalangan siswa sekolah. Karena bagaimanapun bentuknya, media menanamkan sikap dan nilai tertentu pada masyarakat. Sehingga terpaan media yang terus menerus bermaterikan kekerasan, akan membuat siswa sekolah menirunya mentah-mentah. Oleh karenanya, selain “gerakan anti-narkoba”, gerakan anti-kekerasan juga dapat digalakkan media massa sebagai cara untuk meredam budaya kekerasan, terutama dalam dunia pendidikan.
Akhirnya, tentulah akan sangat mengkhawatirkan jika kekerasan mengakar kuat dibatin masyarakat, karena itu akan menjadi sumber inspirasi bagi bentuk-bentuk kekerasan yang kapan saja bisa terjadi. Untuk itu lembaga pendidikan, media massa beserta agen perubah kebudayaan lainnya, perlu bekerjasama secara optimal. Sehingga akan terwujud generasi mendatang negeri ini yang tidak teracuni nilai-nilai kekerasan.